POST-TRUTH
Penulis: Febronius Kiik (Mahasiswa Semester VIII)
Fakultas: Filsafat Universitas Widya Mandira Kupang
“Post-truth[1]”
Abstraksi: Hoaks
menjadi bagian utuh yang melekat dalam kehidupan manusia postmodernis. Kerangka
berpikir manusia telah ditelanjangi dengan berita bohong, yang pada prinsipnya
akan membawa pada kepincangan dalam tatanan hidup bersosial dan bermasyarakat,
baik secara politik maupun religius. Di sini penulis menghadirkan beberapa
pemikiran dasar yang mau menjelaskan bagaimana para pemikir postmodernis ingin
memanipulasi segala kebenaran-kebenaran universal termasuk dogma-dogma dengan
argumentasi-argumentasi yang berlawanan.
Kemudian mereka melanjutkan serangannya dengan mengembangkan sebuah
suasana dan kultur yang mengangkat kebenaran dan kekuatan lokal menjadi acuan
perilaku dan kebudayaan. Meraka dengan tegas menolak sebuah “determinisme
universal” yang telah lama menjadi klaim sains dan pengetahuan modern. Kemudian
penulis juga merancang pertahanan versi Mahatma Gandhi dengan menggunakan
kasih, nalar dan suara hati untuk menyerang segala kepincangan yang telah
dilakukan oleh para pemikir postmodernis. Setidaknya dengan merancang
pertahanan ini, manusia zaman ini tidak serta merta memberi peluang seutuhnya
pada kehadiran hoaks yang membelenggu psikologi berpikir manusia.
Kata kunci: Hoaks,
Postmodernis, Kasih, Nalar dan Suara Hati
Pendahuluan
Menanggapi keluhan yang terungkap dalam
berita harian Kompasiana, selama tahun 2017 berdasarkan data yang dihimpun,
sebanyak 800.000 berita hoaks tersebar di internet. Selama kurun waktu Januari
hingga Juli 2017, Kementerian Kominfo telah memblokir 6.000 situs yang
menyebarkan hoaks (Kominfo, 2018). Penting bagi setiap
pribadi memerangi hoaks yang secara implisit merusak moral setiap pribadi.
Terlebih dengan hadirnya teknologi 4.0 yang digadang-gadang menjadi ketakutan
terbesar bagi bangsa dan negara ini karena memang negara Indonesia sendiri
belum siap dengan hal-hal yang berkaitan dengan teknologi 4.0. Seiring dengan
berkembangnya teknologi, hoaks menjadi momok bagi perkembangan segala potensi
yang dimilik oleh bangsa Indonesia. Pelbagai keluhan dan tanggapan di atas
mendorong kita untuk menjadi pribadi selektif agar tidak mudah jatuh dengan
hal-hal yang masuk dalam kategorisasi berita hoaks. Masalah hoaks menjadi begitu urgen karena dampak
yang begitu dahsyat.
Hoaks, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai 'berita bohong' yang merupakan usaha seseorang atau pembuat
berita untuk menipu, membohongi, dan membodohi pembacanya dengan berita yang
dibuatnya. Sementara pembuat berita sudah mengetahui bahwa berita itu tidak
benar. sebagaimana definisi hoaks di atas tentu hoaks menjadi merusak segala
aspek kehidupan; inteklektual, sosial(politik), dan psikologis.
Aspek akademis-intelektual
Salah satu aspek yang penting dan menjadi
sorotan utama perihal dampak penyebaran hoaks adalah aspek
akademis-intelektual. Para akademis menjadi korban penyebaran hoaks; namun tak
dapat dipungkir bahwasanya sebagian
besar menjadi pelaku penyebar hoaks adalah para intelektualis. Di sini para
akademis yang diharapkan matang dalam ilmu, hal in tidak berarti dia mencari
pengetahuan yang ‘siap-pakai” (ready-made), melainkan matang dalam berpikir.
Namun dengan adanya penyebaran hoaks, pada akhirnya para akademisi mengalami
ambiguitas kebenaran sehingga menyebabkan minimnya kualitas dan kapabilitas
serta integritas pada akademis. Penyebaran hoaks menyebabkan para akademis yang sedang dalam tahap belajar
bisa mengalami apa yang disebut sebagai “keracunan pikiran”. Hal ini sangat
penting untuk disikapi karena stiap pikiran mempengaruhi pola tingkah laku.
Setiap tindakan yang tidak didasarkan proses berpikir dan dalam ranah
pengetahuan yang benar dapat mengakibatkan kesalahan terlebih mendatangkan
sebuah keburukan secara moral.
Aspek sosial (politik)
Dalam artikel berjudul “Hoaks dan
demokrasi” (Tempo,11/1/2017), Rocky Gerung, Dosen Filsafat UI dan Peneliti
perhimpunan Pendidikan demokrasi, menulis: “Pembuat hoaks terbaik adalah
penguasa, sebab mereka memiliki peralatan lengkap untuk berbohong: statistik,
intelejen, editor, panggung, media, dst...”[2]
penguasa seperti memiliki otoritas untuk menentukan segala yang benar dan salah
maupun yang baik dan buruk. Dengan demikian, menukar prinsip kebenaran
berdasarkan persesuaian antara data dan fakta dengan kebenaran berdasarkan
prinsip otoritas penguasa yang lebih jauh dikenal dalam logika sebagai logical fallacy (argumentum actuorisitatem).
Karena setiap pribadi sebagai makhluk
sosial hidup bersama atau dalam konsep seorang filsuf Yahudi disebut membentuk
pola kebersamaan dan ketersalingan maka, ia diharapkan “berakar dalam
masyarakat dan mengabdi kepadanya” (RFN/ Ratio Fundamentalis Nasionalis 7).
Namun dengan adanya pergeseran di era sekarang ini, setiap pribadi mengabdi
kepada dirinya sendiri dan kebenaran menjadi persesuaian antara kepentingan
pribadi yang satu dengan pribadi yang lain bahkan persesuaian antara
kepentingan kelompok yang satu dengan kepentingan kelompok yang lain. Tahun
1942, dalam esai Looking Back on Spanish War, George Orwell menulis tentang
kesuksesan propaganda fasis yang menyedihkan: ”Kebohongan telah mengisi
propaganda politik, sedangkan kebenaran disepak. Kebohongan difiksasi sebagai
kebenaran”.[3]
Kurang lebih sebagaimana yang terjadi di Indonesia sendiri, yang dapat
melakukan pergeseran ini hanyalah mereka yang memiliki kuasa dalam tanda kutip
semua yang memiliki “otoritas”, meskipun otoritas itu merupakan pelimpahan
wewenang dari civil society yang terjadi dalam pemilihan umum. Dampak yang
ditimbulkan dalam ranah kehidupan sosial ini memang cukup besar yakni, kacaunya
demokrasi, pemicu kekerasan, hingga dapat menimbulkan perang.
Aspek psikologis
Dalam aspek psikologis, dampak hoaks
adalah membangkitkan atau mengubur emosi pribadi maupun kelompok yang
disesuaikan dengan tujuan pembuat dan penyebar hoaks. Tak dapat dipungkiri
pelbagai kemerosotan kontestasi perpolitikan di Indonesia, terutama menjelang
kontes politik pemilihan umum presiden dan wakil presiden negara kita hingga
menjelang pelantikan calon presiden dan wakil presiden terpilih (Jokowi-Amin)
disebabkan pula oleh penyebaran hoaks. Hoaks membangkitkan emosi civil society yang terlebih diwakili
oleh para mahasiswa. Sekilas, aksi demonstrasi mahasiswa dilihat sebagai aksi
pro-rakyat namun bila ditelisk lebih jauh, aksi demonstrasi ini merupakan aksi
yang lahir dari akumulasi pembakaran emosi masyarakat yang dilakukan oleh
kelompok kepentingan tertentu melalui penyebaran hoaks. Massa digerakkan hanya
melalui penyebaran berita bohong yang diselubungi dengan pandangan nasionalis,
pro-rakyat, anti-ketidakadilan dan sebagainya sedemikian sehingga seakan-akan
massa perlu bergerak demi memperjuangkan apa yang sebenarnya menjadi tujuan
dari Si Penyebar hoaks.
Era Post-truth- Hoaks: Propaganda postmodernisme
Sepanjang beberapa dekade terakhir, arus
pemikiran mengalami suatu hantaman dengan hadirnya postmodernisme. Suatu era
baru dalam ranah filsafat yang mempertentangkan segala macam kebenaran yang telah
bertahan terhadap pelbagai metode negasi, falsifikasi maupun verifikasi dari
zaman ke zaman termasuk dogma-dogma yang diyakini sebagai ajaran yang harus
diterima sebagai yang baik dan benar yang dipertahankan oleh agama-agama. Para
pemikir postmodernisme telah sekian jauh menimbulkan kejutan-kejutan yang
menghantam konsepsi universalistik dalam hal kebenaran. Ketidaktundukan pada
suatu kerangka kebenaran telah menghadirkan postmodernisme sebagai “badai”
pemikiran yang memporakporandakan sistematika kebenaran dan kerangka dogmatik
sejumlah ideologi dan agama.[4]
Inilah yang menjadi momok terlebih bagi kebenaran-kebenaran yang oleh
agama-agama perlu dan bahkan harus dilakukan dan dijaga oleh setiap
penganutnya; terlebih karena hadirnya postmodernisme yang mngklaim bahwasanya
tidak ada kebenaran yang universal,- yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran
partikular dan bahkan individual, dalam artian bahwasanya segala sesuatu benar
bagi setiap orang tergantung pada individu atau kelompok yang mengaminkan
kebenaran itu.
Ada beberapa tema penting yang menjadi
pusat argumentasi pemikir postmiodernisme dewasa ini. Pertama, postmodernisme
merintis sebuah ketidakpercayaan terhadap metanarasi.[5]
Kurang lebih inilah yang menjadi dasar agenda besar postmodernisme terhadap
kebenaran-kebenaran universal seperti uraian di atas. Postmodernisme semacam
hendak membongkar pelbagai kekakuan dalam hal kebenaran-kebenaran universal
termasuk dogma-dogma, sekaligus mosi tidak percaya ini menjadikan
postmodernisme sebagai pengarah baru dalam kebenaran atau pembuka tongggak
kepengapan berpikir dengan arah berlawanan.
Kedua, para pemikir postmodernis
mengembangkan sebuah suasana dan kultur yang mengangkat kebenaran dan kekuatan
lokal menjadi acuan perilaku dan kebudayaan. Meraka dengan tegas menolak sebuah
“determinisme universal” yang telah lama menjadi klaim sains dan pengetahuan
modern. Sebaliknya, mereka mengedepankan semacam “determinisme lokal” yang
mengusung sebuah kekuatan tandingan bukan saja sebuah konsepsi filosofis tetapi
juga praksis kehidupan manusia. Mereka menolak dengan tegas segala konsepsi
sains yang keluar dari sebuah persekongkolan para lmuwan yang memberikan
legitimasi terhadap sebuah kebenaran yang kemudian bersifat universal. Kritikan
ini serentak menjadi awasan bagi para ilmuwan untuk tidak mempergunakan
kesepakatan itu sebagai terali besi yang memenjarakan dan membuntungkan
kreativitas lain dalam membentuk ruang kebenaran.[6]
Ketiga, kaum postmodernis juga melihat dan
memaknai masyrakat berseberangan dengan paham-paham yang lebih dulu hadir dan
menjadi referensi dalam pembicaraan tentang kehidupan sosial.[7]
Kaum modernis semacam hendak memberikan reaksi setimpal terhadap aksi yang
diberikan. Sebagaimana hukum aksi-reaksi, aksi yang diberikan akan menimbulkan
reaksi setimpal namun berlawanan. Denagan demikian para postmodernis seakan
memberikan perlawanan terhadap kebenaran atau dogma-dogma yang dianggap
menjajah. Namun, perlawanan ini menjadikan agama-agama perlu menyiapkan
ketahanan sebab doktrin-doktrin dalam agama-agama menjadi sorotan terbesar
perlawanan dari kaum postmoidernisme. Terlebih secara khusus
ketentuan-ketentuan agama perihal tindakan moral yang dapat dilanggar karena
paham ini.
Keempat, kaum postmodrnis menegaskan bahwa
yang harus ditekankan dewasa ini bukan proyek peneguhan konsensus kebenaran dan
keyakinan atau homologi melainkan paralogy
yang mengakui pluralitas logika dalam mempertajam kebenaran, dan tentu saja
pluralitas kebenaran itu sendiri. Mereka mengumumkan perlawanan abaditerhadap
keseragaman dan uniformitas seraya mengumandangkan kebenaran pluriformistis
dalam kebenaran dan gaya pemikiran.[8]
Dengan demikian, kehadiran kaum
posmodernis dalam gaya postmodernisme merupakan dentuman besar atau “big bang” bagi pelbagai klaim kebenaran
yang telah lama bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial, yang turut
membentuk pola pikir dan pola tingkah laku masyarakat dan sekaligus menjadi
“pagar” yang menjaga agar pola perkembangan pemikiran selanjutnya tidak keluar
dari ranah yang telah ditetapkan sebagai hal yang harus diikuti sebagai
kebenaran. Terlebih menjadi pukulan hebat bagi agama-agama yang telah
menetapkan doktrin-doktrin yang harus ditaati oleh penganutnya; ambiguitas
kebenaran yang dihadirkan atau yang ditawarkan oleh kaum postmodernis
mempropagandai berbagai tindakan yang yang kurang lebih menyeleweng bahkan
melangkahi moralitas dalam kehidupan bersama.
Krisis moral dewasa ini berakar pada
kenyataan ini: munculnya manusia amoral, yang diciptakan oleh masyarakat
aktual. Masyarakat dewasa ini telah berakar pada “ley del consumo” (hukum
konsumerisme). Inmoralitas konsumerisme menciptakan amoralitas, menolak
moralitas dan mendesmoralisasi kemanusiaan. Fenomen ini menggerogoti esensi
kemanusiaan: idea antropologis. Ada beberapa bentuk fenomen amoralitas, yakni:
munculnya manusia-massa, desintegrasi relasi kemanusiaan, propaganda: tirani
kata-kata, degradasi cinta dan seksualitas, kekerasan sebagai forma relasi
interpersonal, pemiskinan roh manusiawi.[9]
Fenomen-fenomen inilah yang menjadi batu sandungan kejatuhan moralitas
kemanusiaan secara khusus merupakan dampak dari hadirnya kaum postmodernis yang
menyebabkan pergeseran ke arah post-truth
didukung oleh kenyataan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
begitu melejit hingga sulit dibendung menjadi media penyebaran paham ini,
terlebih tautannya dengan penyebaran hoaks. Penyebaran hoaks memprakarsai
kejatuhan moral dalam kehidupan sosial yang dikategorisasikan sebagai era post truth. Penyebaran hoaks menjadi
hasil yang nampak dari paham postmodernisme sebab kebenaran-kebenaran yang ada
adalah hasil dari akumulasi kebohongan-kebohongan (post-truth). Hal ini sinkron dengan data penyebaran hoaks sepanjang
tahun 2018 dikutip dari (Ayu, 2019) dalam penelitian yang dilakukan Mafindo,
bahwa sepanjang 2018 berita bohong yang disebar tiap bulan meningkat
"Tahun 2018 itu ada, Januari 101 hoaks, Februari 91 hoaks, Maret 117
hoaks, April 118 hoaks, Mei 98 hoaks, Juni 89 hoaks, Juli 65 hoaks, Agustus 79
hoaks, September 107 hoaks”.[10]
Ini merupakan sebuah kejatuhan moral yang terjadi dalam dunia dewasa ini yang
perlu disikapi karena merusak segala aspek kehidupan masyarakat, yang berbangsa
dan bernegara.
Merancang Pertahanan Versi Mahatma Gandhi
Tantangan besar yang dihadapi saat ini
adalah bagaimana menyikapi postmodernisme yang hadir seiring dengan
perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang begitu pesat yang menjadi
terlebih dalam wujud penyebaran hoaks yang akhir-akhir ini membanjiri dunia
informasi. Maka pertahanan versi Mahatma Gandhi dapat membantu untuk melawan
dan menyikapi kekuatan posmnodernisme. Bagi Gandhi, sikap yang tepat untuk
melawan segala bentuk tantangan adalah dengan kasih atau ahimsa. Ahimsa
merupakan sarana komunikasi antar pribadi dan sungguh-sungguh dapat menghargai
atau menjunjung tinggi kodrat dan harkat kemanusiaan orang lain[11].
Melalui sikap yang demikian umat manusia mampu membina persatuan dan hidup
bermasyarakat yang lebih manusiawi, damai dan diwarnai oleh rasa persaudaraan.
Maka dari itu manusia perlu mengatur dirinya sendiri[12].
dalam hal ini manusia perlu mengembangkan nalar dan suara hatinya untuk
menanggapi segala bentuk kejanggalan yang dihadapi. Nalar menjadi begitu
penting demi menilai semua informasi yang beredar terutama demi membedakan mana
yang benar dan salah, baik dan buruk sebuah informasi dan atau tindakan.
Meskipun perihal kebenaran menjadi tidak menentu sesuai dengan gugatan kaum
postmodernis, namun perlu disadari bahwasanya kekuatan nalar perlu untuk
menilai hal-hal yang memang pada dasarnya memiliki kebenaran asali atau pada
dasarnya benar dan baik. Anggapan subyektif
yang dikembangkan kaum postmodernis sebagai apa yang benar, yakni
berdasarkan apa yang diyakini benar
perlu untuk dikritisi oleh nalar karena jika demikian peluang kemungkinan
kejatuhan moral menjadi begitu besar. Hal ini tentu sangat berdasar karena
setiap pribadi akan mengklaim kebenarannya masing-masing karena tidak ada
kebenaran yang menjadi tolok-ukur bagi kebenaran-kebenaran yang lain. Setiap
orang akan mengannggap tindakan atau pandangan maupun sikapnya benar
berdasarkan apa ynag ia yakini (atau berdasarkan konsep yang ia anut). Semisal,
pada prinsipnya agama-agama melarang tindakan aborsi. Namun, karena
perkembangan paham postmodernisme, tindakan ini dapat dibenarkan karena
kebenaran tergantung pada dirinya yang mengaminkan tindakan tersebut sebagai
benar; selain itu tindakan itu dapat dianggap benar karena paham yang ia anut
adalah liberalisme (menekankan kebebasan setiap orang),- postmodernisme
mengaminkan setiap paham untuk dapat mengaklaim kebenarannya masing-masing,
tergantung dari setiap subyek yang
menganutnya.
Kedua, kejatuhan moral saat ini merupakan
akibat dari ketumpulan suara hati. Masyarakat aktual cenderung bersifat
konsumtif sehingga tidak mempersoalkan moralitas dari setiap tindakan asalkan
tindakan tersebut memjawabi kebutuhannya atau tujuannya. Penyebaran hoaks
merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang ataau sekelompok orang demi
mencapai tujuan tertentu. Kebohongan yang disebarkan walaupun sudah disadari
dapat merusak pelbagai aspek dalam kehidupan sosial masyarakat namun penyebaran
ini menjadi tindakan yang harus dilakukan demi tujuan bagi dirinya atau
kelompoknya. Misalkan, seruan penyelesaian agenda reformasi yang terbilang
belum selesai dan harus diselesaikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Seruan
penyelesaian agenda reformasi ini tak berpangkal namun mempunyai tujuan untuk
menurunkan presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2020 dalam
pandangan yang kasat mata. Inilah sebuah akibat dari ketumpulan suara hati dari
si penyebar hoaks, yakni kejatuhan moral dengan menyebarkan berita bohong yang
pada situasi tertentu dapat mengakibatkan bencana besar bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara seperti tawuran, bentrok antar mahasiswa, bentrok
antara mahasiswa dan pihak kepolisian hingga peperangan yang dapat berakibat
pada kerusakan di segala sektor hingga yang paling tinggi adalah kejatuhan
korban jiwa. Maka perlu adanya pengasaan suara hati secara terus-menerus
sehingga suara hati dapat turut berperan dalam manilai setiap pola tingkah laku
dan sikap setiap pribadi dalam melakukan setiap tugas dan tanggungjawabnya
hingga dalam menggunakan kebebasannya.
Penutup
Kemanusian di masa sekarang mengalami
suatu kemuduran akibat penghancuran batas-batas kebenaran universal oleh
pergeseran ke arah pasca-kebenaran, penghancuran oleh kepentingan kelompok
tertentu yang lebih menjunjung tinggi subyektivitas kebenaran dan kepentingan
kelompok daripada kebenaran universal dan kepentingan bersama. Kecakapan setiap
pribadi menjadi tuntutan dasar dalam memperjuangkan kemanusiaan yang tengah
menaglami krisis kejatuhan moral. Hanya melalui studi yang komprehensif dalam
membaca setiap persoalan dan dibarengi dengan pengasaan suara hati melalui
pendidikan karakter setiap orang mampu memenangi pertarungan di era
pacsa-kebenaran sehingga kemanusiaan dijunjung tinggi sebagai kodrat yang
asali. Inilah tugas kita semua untuk memerangi era pergeseran ini, sebagai satu
kesatuan yang bermoral dan menentang tindakan inmoral demi menjaga keutuhan kebenaran
untuk mencapai hidup yang luhur,- hidup yang berkemanusiaan sebab tidak ada
kekudusan tanpa kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
DOKUMEN GEREJA
Ratio Fundamentalis Nationalis, Dekrit
tentang Pedoman Pembinaan Imam di Indonesia, 1987 Mirsel, Robert (penerjemah), Dokumen Komisi Wali Gereja Indonesia
BUKU
Tan,
Peter, Paradoks Politik, Pertautannya
dengan Agama dan Kuasa di Negara Demokrasi, Yogyakarta: Gunung Sopai, 2018.
Wegig,
Wahana, Dimensi Etis Ajaran Gandhi,
Yogyakarta, Kanisius, 1989
Pleyser,
Gandhi Pelopor Kemerdekaan India,
Yogyakarta, Jembatan, 1992 JURNAL/MAKALAH
Regus, Max, “DIALOG
AGAMA DAN FILSAFAT DALAM RUANG POSTMODERNISME”, Jurnal Ledalero, Vol. 4,
No. 2, Desember 2005.
INTERNET
[1] Penulis
menggunakan istilah post-truth dalam
artian yang lebih spesifik untuk menggambarkan fenomena pergeseran yang
terjadi, perihal munculnya kaum postmodernis yang menyangkal atau membantah
segala macam kebenaran universal terlebih dogma-dogma.
[2] Peter
Tan, “Paradoks Politik, Pertautannya
dengan Agama dan Kuasa di Negara Demokrasi”, (Yogyakarta: Gunung Sopai,
2018), hal. 93
[3] Ibid., hal. 135
[4] Max
Regus, “DIALOG AGAMA DAN FILSAFAT DALAM
RUANG POSTMODERNISME”, Jurnal Ledalero, Vol. 4, No. 2, Desember 2005,hal.
71
[5]
Ibid., hal 71
[6]
Ibid., hal. 72
[7] Ibid., hal.
72-73
[8]
Ibid., hal. 73-74
[9] P.
John Jeramu, “Teologi Moral Dasar”,
bahan Ajar Mata Kuliah Teologi Moral Fakultas Filsafat Unwira, 2018, hal. 8
[10]
Diambil dari http://www.tribunnews.com/pilpres-2019/2018/10/16/mafindo-tren-penyebaran-hoax-sepanjang-2018-meningkat-didominasi-isu-politik-dibumbui-agama
[11] Wahana
Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal
162
[12] Pleyser,
Gandhi
Pelopor Kemerdekaan India, (Yogyakarta: Jembatan, 1992), hal. 178
Komentar
Posting Komentar