Konsep Spiritual dan Moral dalam Perjuangan Kebebasan Menurut Sri Aurobindo Ghosh dan Relevansinya Bagi Bangsa Indonesia
oleh: Agustinus Moensaku
No. Regis: 611 17 023
Mahasiswa Fakultas Filsafat - Semester 8
Universitas Katolik Widya Mandira - Kupang.
Sri Aurobindo Ghosh (1872-1950) telah menjadi salah satu pemikir dan filsuf terbaik India modern. Dia juga seorang pemimpin populer dari gerakan kemerdekaan yang kemudian menjadi seorang yogi dan seorang mistikus. Aurobindo lahir di Konnanagar (Benggala Barat) pada tanggal 15 Agustus 1872. Segera setelah menyelesaikan pendidikannya dari Biara Loreto di Darjeeling, ia dikirim ke Inggris untuk melanjutkan studi lebih lanjut. Ia belajar di Sekolah St. Paul di London dari tahun 1884. Setelah mendapatkan beasiswa klasik senior, ia bergabung dengan King's College, Cambridge pada tahun 1890. Setelah kembali ke India, dia belajar bahasa Sanskerta dan budaya, agama dan filsafat India. Dan kemudian hingga 1910, dia mengabdikan dirinya pada perjuangan kebebasan dengan memperkenalkan Program radikal untuk Kongres Bengal sambil mendesak orang India untuk memboikot semua barang dan program buatan luar negeri dari Pemerintah Inggris. Dia ditangkap karena aktivitas pro-swaraj pada tahun 1910 dan dipenjara selama satu tahun.
Spiritualitas berasal dari bahasa Latin, spiritus yang berarti roh. Seiring dengan perkembangan zaman, makna spiritual mengalami perluasan makna. Spiritual bukan lagi mengenai roh/arwah tetapi spiritual adalah pengenalan dan pembelajaran mengenai identitas manusia dan alam berdasarkan makna hakiki, komitmen moral, dan kemampuan untuk terikat dalam etika. Spiritualitas telah menjadi bagian sepanjang sejarah hidup menusia. Bahkan ketika manusia pertama kali diciptakan, berdasarkan kisah dari berbagai kepercayaan, selalu terkait dengan muatan nilai-nilai spiritual yang tertinggi.
Agama adalah salah satu jalan bagi kita untuk mengenal spiritual dengan baik. Agama adalah salah satu sistem kepercayaan. Dan spiritual adalah implementasinya dalam kehidupan. Agama dan spiritualitas adalah satu kesatuan yang berjalan beriringan. Saling mengisi dan membangun kita dapat menjadi manusia yang utuh. Spiritualitas membuat kita mampu untuk duduk bersama dalam damai dan toleransi. Konteks spiritualitas lebih luas. Ia bisa masuk melintasi beragam kepercayaan. Meskipun setiap agama memiliki cara-cara tersendiri yang unik dalam menggambarkan spiritualitas terhadap pengikutnya.
Karena kebebasan politik adalah yang paling penting bagi suatu bangsa, maka kebebasan itu harus dijaga atau dijamin dengan cara apa pun. Aurobindo berpandangan bahwa individu harus siap mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan bangsanya. Hanya dengan mengidentifikasikan dirinya dengan kemauan nasional seseorang dapat mencapai pemenuhan. Tapi bangsa itu sendiri bukan hanya sekelompok individu, seperti yang dilihat Aurobindo. Itu adalah organisme sebagaimana individu adalah satu, dan bangsa memiliki kepribadiannya sendiri juga. Fungsi masyarakat adalah membantu. Revolusi yang digagas Aurobindo bersifat spiritual. Ini melibatkan realisasi berdasarkan konsep Realitas Tertinggi (Sachchidananda), Manusia Super (Kesadaran Kebenaran) dan Evolusi.
Tantangan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk adalah bagaimana meramu segala entitas perbedaan yang incommensurable menjadi suatu tatanan masyarakat yang demokratis. Panggilan politik di sini adalah menata kehidupan bersama dan berjuang untuk meramu segala perbedaan menjadi suatu „well-ordered-society“. Dalam hal ini kita selalu berhadapan dengan dilema politik yakni mengakui dan menghormati segala perbedaan dan identitas kelompok yang pada gilirannya menciptakan ruang bagi desintegrasi.
Kita tahu bahwa untuk menghormati diversitas kulrtural sebagai bagian dari politik identitas lahir dari reaksi terhadapan pengabaian hak-hak kaum minoritas dalam sejarah bangsa ini. Pengabaian itu telah menimbulkan ancaraman separasi dari kesatuan sebagai bangsa dan negara. Politik pengabaian ini lahir selalu konteks pertarungan kekuatan antara „minoritas“ dan „mayoritas“, di mana kelompok mayoritas selalu menang dan akhirnya meminggirkan kaum minoritas.
Bagi Indonesia, ketiga hal ini yakni pluralitas (plurality), perbedaan (difference) dan diversitas (diversity) tidak lagi dilihat sebagai kekayaan yang memperkokoh kesatuan bangsa melainkan justru sebagai ancaman kesatuan, yang pada akhirnya mencederai demokrasi dan toleransi. Padahal demokrasi itu pada hakikatnya mengandung nilai-nilai inklusif karena demokrasi mempertemukan segala yang berbeda atau yang berlainan melalui konsep politik yangg disebut „human qua citizen“ (manusia sebagai warga negara). Kita tahu bahwa inklusivitas demokrasi ditandai oleh faham pemerintahan rakyat. Dengan faham pemerintahan rakyat ini demokrasi sebenarnya menuntut solidaritas dan komitmen bersama dari semua rakyat dengan tindakan toleransi multikultural yang tinggi. Tuntutan agara demokrasi menjadi lebih optimal hanya mungkin terjadi manakala semua rakyat dapat mengenal satu sama lain, percaya satu sama lain, dan memiliki citarasa akan komitmen terhadap yang lain.
Kita harus menyadari bahwa dilema demokrasi itu menuntut kita untuk menemukan pengertian-pengertian baru yang lebih kreatif sebagai bentuk identitas politik kita. Kita tidak perlu memperkokoh identitas kita lewat homogenitas yang artifisial sebagai dasar hidup bersama yang damai. Yang kita butuhkan adalah adanya pengakuan akan identitas nasional yang berbeda-beda menurut suku dan agama masing-masing, dan memberi ruang yang bebas, setara dan fair dalam setiap ekspresi politis. Identitas politik harus dibangun dan dirancang bersama oleh semua rakyat. Singkatnya, politik demokratis harus sanggup menciptakan satu atap kehidupan sebagai tempat bernaung bagi semua orang dan sebagai tempat untuk sharing identitas bersama dari segala macam perbedaan.
Ide politik Aurobindo dan filosofinya tidak dapat dibedakan sebagai dua perangkat pemikiran yang terpisah. Ini karena semua ide politiknya didasarkan pada konsep-konsep yang sangat spiritual dan moral yang membentuk esensi pemikiran filosofisnya. Jadi, nasionalisme bagi Aurobindo bukan sekadar program politik atau konsep budi. Itu adalah usaha spiritual, "agama yang datang dari Tuhan". Ini adalah agama aktif yang senjata utamanya adalah spiritual. Aurobindo percaya bahwa gerakan nasional India harus berhasil sehingga India dapat menyelesaikan tugas yang ditakdirkan dan "menjadi dirinya sendiri. Jadi swaraj bukan sekadar isyarat kemerdekaan politik; swaraj adalah sarana yang dengannya dia bisa menjadi pembimbing spiritual bagi seluruh umat manusia. .Untuk menghadapi penindasan nasional, Aurobindo menganjurkan perlawanan pasif maupun aktif tergantung pada jenis tekanan yang diterapkan.
Dalam konteks Indonesia, model pemikiran Aurobindo tentang spiritualitas dan moral dalam memperjuangkan kebebasan rakyat menjadi bahan pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Tindakan memperjuangkan kebebasan bukan hanya saja dengan tindakan anarkis sehingga merusak fasilitas umum bahkan nyawa manusia tetapi dapt dilakukan juga dengan seruan dari spiritualitas dan moral yang dimiliki oleh masyarakat (rakyat) sebagai pribadi yang bermartabat.
V. Prabhakaran, dkk, Contemporary Indian Philosophy, (India, Calicut university P.O, Malappuram Kerala, 2011),
Basa Alim Tualeka, Nilai Agung Kepemimpinan Spiritual, ( Jakarta: Alex Media Komputindo,)
Norbertus Jegalus, Filsafat Nusantara, (Modul)
Komentar
Posting Komentar