PENYANGKALAN DIRI: MERETAS SIKAP INDIFFERENT DI ERA PANDEMI (Sebuah refleksi atas pemikiran Swamy Vivekananda)
Oleh: Yakobus Adrianus Atolan Bauk (611 17 015)
Setahun lebih pandemi Covid-19 telah menjadi krisis global. Menjadi krisis global sudah pasti meresahkan sejumlah negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dengan sifatnya yang tak kasat mata dan mematikan, Covid-19 menyebabkan banyak perubahan di berbagai bidang kehidupan manusia, entah baik atau pun buruk. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak lain menjadi sebab-akibat untuk perubahan yang lainnya. Perubahan adalah sebuah keniscayaan.
Fakta
Covid-19 menjadi penyakit menular yang tidak bisa disangkal dan paling ditakuti saat ini. Secara global berdasarkan data statistik telah terdapat 180.779.194 kasus dengan angka kematian mencapai 3.916.328 dan yang sembuh 165.430.621. Sedangkan secara Nasional terdapat 2.231.914 kasus sehingga Indonesia berada pada peringkat 17 dunia. Dari segi penambahan jumlah kasus baru tertanggal 24 Juni 2021, Indonesia mengalami peningkatan dengan jumlah 20.574 kasus baru dan mencatatkan rekor sebagai peringkat ke-5 di dunia (kompas.com, 25/06/2021). Keadaan ini mengundang berbagai pihak terus-menerus mencari apa penyebabnya, bagaimana bentuknya dan apa solusinya yang memadai dan tepat untuk diupayakan menjadi “racun” yang mematikan Covid-19. Di sisi lain, terdapat pula berbagai persepsi tentang pencegahan dan penanggulangan yang beraroma bisnis, kritikan-kritikan tajam terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengacu pada kepentingan politis pengkritik, dan tindakan amal yang berselimutkan popularitas. Hal-hal ini menjadi fakta yang semakin memantik risau bahwa langkah apa pun yang diambil mengenai Covid-19 sudah tentunya bermuara pada pengedepan kepastian dibanding mempertimbangkan proses pencarian kebenaran. Sejatinya, realitas ini mau menunjukkan bahwa apa (to be) dan siapa (to have) itu manusia sudah dan sedang menjadi objek yang ditantang.
Tantangan dan masalah
Hal pertama yang ditantang dalam diri manusia adalah iman (faith: manusia sebagai homo fidei). Pandemi Covid-19 tengah mengobrak-abrik iman manusia mulai dari kecemasan yang memuncak pada ketakutan (psikis), dari kehilangan pekerjaan sampai pada kemiskinan (economy), dari kebersamaan sampai kehilangan sesama (social), dari belajar offline hingga belajar online atau daring (science), dari beribadat jemaah di gereja atau masjid menjadi ibadat keluarga di rumah (religi) dan masih banyak hal pokok lainnya. Hal-hal tersebut menjadi bagian yang tidak mengherankan jika iman seorang manusia mengalami ritme top-down. Iman di sini bukan menyangkut manusia itu beragama ataukah tidak, melainkan adanya kepasrahan diri dan pengakuan diri akan keterbatasan manusiawinya dan kehadiran Pencipta. Kepasrahan dan pengakuan diri tidak dalam artian “kalah” melainkan sebagai suatu proses berdamai, beradaptasi dengan situasi dan keadaan yang dialami untuk mencapai kesempurnaan personal dan menjangkau titik bonum commune. Maka, yang menjadi masalah utama dalam kaitannya dengan iman tidak lain adalah pemahaman iman yang dangkal.
Hal kedua yang ditantang dalam diri manusia adalah ilmu (science: manusia sebagai homo scienciarum). Iman perlu digolongkan dalam kegiatan ilmu manusia untuk “tahu” dan mengetahui”. Ilmu yang didapatkan oleh manusia sejatinya berproses dari pengalaman indrawi, daya pikir dan menalar, dan intuisi rohani (Nico Syukur Dister, 1991, p. 17-18). Ketiga hal tersebut akan menjadi kendala dan mempengaruhi mainstream apabila kegelisahan dan kebingungan menjadi tsunami bagi manusia akibat disinformasi dan misinformasi, serta tergiring opini yang menimbulkan polemik dan merugikan berbagai pihak. Akhir-akhir ini, tak jarang Covid-19 dikatakan sebagai kambing hitam yang memuncul “ilmu-ilmuwan” mendadak yang menafsir Covid-19 ala epidemilog. Hal itu terungkap dalam dunia teknologi seperti yang dikenal dengan istilah hoax, fake news. Termakannya manusia akan hoax, fake news, tentang pendemi Covid-19 berakar pada mutu pendidikan yang rendah serta nalar sehat dan kritis yang tidak dimanfaatkan secara baik.
Yang ketiga adalah imun. Imun yang dimaksud berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi (economy: manusia sebagai homo economicus). Kehilangan lapangan pekerjaan menyebabkan dompet menipis bahkan tak terisi, meningkatnya pengangguran dan merebaknya angka kemiskinan yang tidak sedikit menyebabkan lambung meronta-ronta, lidah menjadi kering dan tubuh terasa layu. Realitas ini secara jelas mengungkapkan bahwa masalah ekonomi senantiasa bertalian dengan masalah kesehatan. Jika ekonomi mandek dengan sendirinya kesehatan terganggu. Masalah ini terjadi bukan karena berlakunya kebijakan-kebijakan pemerintah yang membatasi ruang gerak bekerja melainkan karena karakter kemalasan dalam mencari solusi untuk menunjang ekonomi dan menjaga kesehatan.
Hal utama yang harus menjadi pegangan saat ini ialah manusia bukan sedang menghadapi masalah iman (faith), masalah ilmu (science) dan masalah imun (economy) tetapi sedang menghadapi masalah pandemi Covid-19. Ketiganya terdampak oleh pandemi Covid-19. Namun, yang harus disadari bahwa pandemi Covid-19 bukanlah akar dari semua permasalahan tersebut melainkan wicked problem (masalah yang tidak mungkin dipecahkan) yakni indifferent. Sikap manusia yang masa bodoh (indifferent) akan situasi dan kondisi saat inilah yang menjadi krisis global, sebab dalamnya manusia memilih “diam” dan apolitis. Masa bodoh tersebut tanpa disadari telah memberikan keuntungan bagi dunia industri informasi teknologi dan industri farmasi, misalnya dengan adanya PSBB manusia melakukan kegiatan melulu menggunakan media massa. Alhasil, penggunaan jaringan telkomsel meningkat sebesar 22,8%, penggunaan aplikasi pertemuan virtual meningkat 75%, penggunaan data hingga 27% dicatat oleh Indosat, dan layanan video streaming meningkat 13,8% (kompas, 17/01/2021). Akibat lain dari sikap indifferent ialah memborgol sikap solider dengan like dan dislike, misalnya dalam media facebook.
Penyangkalan Diri sebagai Solusi
Keadaan saat ini memang tidak bisa disangkal sebab dunia dan manusia sedang berada pada “situasi khusus” yang mengharuskan. Namun, tidak berarti bahwa manusia harus bungkam seribu bahasa dan berdiri tetap tegak-kaku. Menerapkan sikap penyangkalan diri adalah langkah untuk meretas masalah masa bodoh (indifferent) yang sedang termaktub dalam iman, ilmu dan imun. Langkah ini sekaligus berlaku sebagai penglima perang dalam menghadapi Covid-19. Manusia dengan segala kekuatan iman, ilmu dan imun akan menjadi tidak berguna bila sikap penyangkalan diri tidak diikutsertakan.
Penyangkalan diri menurut Swamy Vivekananda adalah suatu metode melaksanakan “tugas” (pekerjaan) tanpa pamrih. Motif tertinggi dari “tugas” manusia adalah membantu orang lain dan berbuat baik kepada dunia. Pengaruh dari usaha terus-menerus berbuat baik kepada orang lain ialah melupakan diri. Kelupaan diri atau penyangkalan diri menjadi salah satu pelajaran dan “tugas” bagi manusia dalam hidup. Setiap tindakan amal, pemikiran simpati, dan setiap kebaikan yang diupayakan manusia dinilai sebagai “tugas” yang dapat menjauhkan diri manusia dari sikap indifferent. Artinya, manusia mampu menyingkirkan ikatan ke-akuan-nya dan ke-punyaan-nya yang adalah benteng bagi kesengsaraan. Maka, manusia dituntut untuk hidup sebagai dermawan, entah secara spiritual, intelektual maupun fisik (K. Jayasree, 2011, p. 19).
Berdasarkan konsep penyangkalan diri tersebut, tantangan dan masalah yang dihadapi saat ini dapatlah diretas dengan melaksanakan beberapa hal pokok berikut: pertama, manusia perlu peduli akan sesama yang memiliki iman yang dangkal dan merubahnya menjadi iman yang mendalam dengan membangun prinsip deep dialog. Kedua, manusia perlu peduli akan sesama yang memiliki konsep ilmu sebagai kepintaran dan merubahnya menjadi ilmu yang mencerdaskan sehingga tidak tergiring hoax atau fake news, dan menghantar pribadi sesama kepada keutamaan hidup yakni baik (ethis), benar (logis) dan harmoni (esthetis). Ketiga, manusia perlu peduli akan sesama yang imunnya lemah dengan memberikan yang seharusnya demi meningkatkan imun tubuh dan menunjang kehidupan ekonomi sesama yang membutuhkan. Alhasil, penerapan sikap penyangkalan diri melalui tindakan-tindakan tersebut manusia dapat membangun sikap resilience atau ketangguhan dalam hidup yakni selalu berpikir positif (positif thinking) dalam menghadapi segala persoalan dan masalah hidup sehingga tidak mudah tenggelam dan diam dalam keterpurukan melainkan bangkit kembali dengan mencari solusi untuk menata hidup (Jojo Raharjo, 2020, p. 6-7).
Dengan demikian, menerapkan konsep penyangkalan diri Swami Vivekananda di masa pandemi Covid-19 dapat meretas masalah indifferent. Yang mana kecemasan dan ketakutan yang berlebihan diubah menjadi sebuah harapan untuk bangkit, matinya nalar kritis menjadi nalar yang hidup dengan berpikir jernih, tepat dan tuntas, serta kemalasan disingkirkan dengan mencari solusi dan peluang dalam menghasilkan sesuatu yang valid, licit dan berbuah. Menerapkan sikap penyangkalan diri sebenarnya manusia sedang mengaplikasikan etika kepedulian: suatu model etika tak bersyarat sekaligus pada saat yang sama merupakan kodrat awal manusia berada (to be), yang bertujuan membangun sikap resilience sebagai bekal hidup di era pandemi Covid-19.
Akhir dari penerapan sikap penyangkalan diri di era Pandemi ialah kesembuhan manusia dan dunia. Kesembuhan menurut Swami Vivekananda mengarah pada kebahagiaan. Jadi, era pandemi adalah saat manusia untuk menyangkal diri demi memiliki rasa peduli dan kebahagiaan sejati.
Sumber Pustaka:
Kompas.com
Dister, Nico Syukur, Pengantar Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991).
Jojo Raharjo, D.Z., Membangun Positivity Resilience Tetap Tangguh di Masa Sulit, (Positvity press, 2020).
K. Jayasree, Contemporary Indian Philosophy, (Malappuram Kerala-India: University of Calicut, 2011).
Komentar
Posting Komentar