Filsafat Politik Mahatma Gandhi tentang Ahimsa dan Satyagraha Terhadap Kekerasan Struktural di Indonesia
oleh: Demitrius Halek
Mahasiswa Fakultas Filsafat-Semester 8
Univesitas Katolik Widya Mandira-Kupang
ABSTRAKSI
Kekerasan
struktural yang terjadi di Indonesia memiliki bentuk yang bermacammacam.
Dimulai dari penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan kekerasan beragama.
Kekerasan beragama di Indonesia tidak terlepas dari intoleransi beragama yang
meningkat belakangan tahun terakhir ini. Apalagi setelah terjadinya Pilkada
Jakarta pada tahun 2014. Setelah momen mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahya
Purnama dipidana dalam kasus penodaan agama yang kebetulan berasal dari
kelompok minoritas. Fenomena kekerasan struktural pemerintah dalam kekerasan
beragama dapat dilihat dari beberapa kasus yang memperlihatkan adanya
ketidakhadiran negara dalam mendinginkan suatu konflik atau mencegah adanya
situasi konflik. Kondisi ini menunjukkan bahwa di rezim demokrasi pun masih ada
kekerasan structural melalui tindakan pemerintah yang membiarkan atau malah
melegitimasi kekerasan struktural. Padahal sudah jelas didalam sila kedua
Pancasila dan Pasal
29 ayat (2) 1945 menegaskan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agama masing-masing.
Kata Kunci: Kekerasan, Struktural, Politik
PENDAHULUAN
Di Indonesia
sendiri kondisi perpolitikan tidak lepas dari cara-cara kekerasan dalam
menyelesaikan suatu permasalahan. Dari awal bergulirnya pemerintahan pada awal
masa orde lama sampai saat ini, era reformasi. Dalam berlalunya masa-masa
pemerintahan, orde baru memberikan luka yang cukup dalam kepada bangsa
Indonesia. Kekerasan dan cara-cara represif digunakan pemerintah untuk
menstabilkan jalannya pemerintahan. Lawan-lawan politik dan kritik-kritik dari
grup penekan ditekan dengan sedemikian rupa agar tidak mengganggu stabilitas
politik.
Saat ini kekerasan di Indonesia
mulai berubah menjadi kekerasan struktural dan intoleransi beragama. Padahal
sudah jelas didalam sila kedua Pancasila dan Pasal 29 ayat (2)
1945 menegaskan: “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan
kepercayaan mereka masing-masing.” Jaminan konstitusional tersebut diperkuat
dengan Pasal 28E Ayat (1 & 2) , UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,
dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan
Politik. Kondisi politik yang memanas turut melambungkan tingkat intoleransi
beragama di Indonesia. Beberapa kasus yang sempat disorot media diantaranya
penyerangan Gereja di St. Lidwina di Yogyakarta, penyerangan, perusakan, dan
pengusiran penganut Ahmadiyah di Lombok Timur, perusakan dua wihara dan lima
kelenteng di Tanjung Balai, dan masih banyak lagi kasus lainnya.
PEMBAHASAN
Gandhi dalam
pemikiran politiknya tentang Satyagraha memiliki pandangan bahwa dalam
bernegara baiknya melihat manusia sebagai manusia yang memiliki percikan Tuhan
dalam setiap orang.Sehingga, serendah apapun orang itu harus dipandang dan
diperlakukan secara manusiawi. Dalam menyelesaikan konflik Gandhi memiliki
beberapa dasar yang harus dilakukkan dalam Satyagraha. Pertama, setiap orang
harus memasuki diskusi dalam keadaan pikiran terbuka dan kerendahan hati karena
tidak ada kebenaran mutlak. Kedua,
setiap orang harus mengurangi egonya dan mencoba saling memahami . Ketiga, untuk menghadirkan dialog yang rasional
dan objektif selayaknya masing-masing tidak boleh berprasangka terlebih dahulu
dan membenci satu sama lain.
Pembiaran dan legitimasi yang diberikan dapat memberikan
dampak buruk bagi kelompok minoritas. Kekerasan struktural mulai berubah menjadi kekerasan langsung seperti
contoh Ahmadiyah. Yang seharusnya negara meberikan perlindungan kepada warga
negaranya justru malah berbalik merugikan warga negaranya. Jemaah Ahmadiyah
berstatus resmi warga negara. Sebagai warga negara, mereka wajib membayar
pajak, mematuhi hukum, mengikuti anjuran pemerintah. Mereka tidak boleh
menghadapi kekerasan dengan kekerasan, dan mesti menyerahkannya kepada hukum
yang berlaku.
Namun kepatuhan
dan ketaatan itu tidak selalu diganjar dengan tindakan nyata negara untuk
melindungi hak-hak mereka. Dengan alasan keadaan darurat atau untuk
mengantisipasi reaksi keras lanjutan dari kelompok yang mengaku diri mayoritas,
negara cenderung membiarkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok
minoritas. Negara sering menerapkan kebijakan utilitaristis. Kebijakan
pemerintah sangat bertentangang dengan nilainilai dan prinsip yang dianut oleh
Gandhi serta pandangan politiknya. Pandangan Gandhi berazaskan Satyagraha dan
Ahimsa yang menekankan adanya dialog dan saling menghormati dan menghargai
sesama manusia yang sebagian dirinya merupakan percikan Tuhan. Maka dari itu,
diperlukannya kembali nilai-nilai ketimuran yang sudah ada dalam tubuh Bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Ketika nilai-nilai ini kembali ditegakkan , Gandhi
pun ikut bersuara bersama pendiri-pendiri bangsa untuk membela semua pihak
untuk kebaikan bersama.
KESIMPULAN
Kekerasan
struktural adalah kekerasan yang mempengaruhi hidup orang banyak tetapi tidak
terlihat secara langsung dan memberikan dampak secara nyata terhadap kehidupan
banyak orang. Contoh kekerasan struktural seperti misalnya korupsi, peredaran
narkoba di lapas, pembiaran intoleransi beragam dan lain-lain. Kekerasan
struktural di Indonesia memberikan dampak signifikan dalam kehidupan
masyarakat. Bisa dilihat dari menurunnya tindkat toleransi dan demokrasi di
Indonesia yang disebabkan pilihan politik lalu menjalar ke berbagai identitas.
Pemerintah dapat
menjadi pelaku kekerasan struktural karena memiliki kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi hidup orang banyak. Menurut Galtung, sengaja atau tidak sengaja
apabila menghasilkan kekerasan struktural itu berarti sama saja melakukan
kekerasan karena dilihat dari sudut pandang korbannya. Kekerasan struktural
yang bertransformasi menjadi kekerasan langsungpun tak dapat di hindarkan.
Masih ada lagi kasus Tanjung Balai, penyerangan Gereja, terorisme, dan berbagai
kasus lainnya. Semuanya memerlukan kehadiran pemerintah di tengah-tengah
masyarakat. Tetapi apa yang dilakukan pemerintah justru melanggengkan kekerasan
dan mengeluarkan kebijakan yang tidak solutif. Karena tertutup dan tidak
membuka kesempatan dialog, sehingga hanya mendewakan kebenaran persepsinya.
Menilik pada
sejarah, pada zaman kolonialisme dahulu ada sosok yang pemikiran dan ide-idenya
tidak lekang oleh zaman dapat membantu merubah sudut pandang atau menangani
masalah tersebut. Adalah seorang Mahatma yang berjiwa besar bernama Gandhi.
Pemikirannnya yang orisinil dan jujur berhasil menarik perhatian dunia dan
membebaskan negaranya dari penjajahan tanpa melakukan peperangan. Indonesia
dapat belajar dari Gandhi tentang bagaimana membangun sebuah bangsa yang tidak
hanya berdasarkan hasrat untuk merdeka. Tetapi juga membangkitkan nilai-nilai
yang tertanam dan membangung kepercayaan diri bangsa serta nasionalisme
ketimuran yang mempunyai sifat religius dan anti kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Alappatt, Francis, Mahatma Gandhi: Prinsip Hidup,
Pemikiran Politik dan Konsep Ekonomi, Bandung: Nusamedia, 2005.
Fischer, Louis, Gandhi Penghidupan dan Pesannya untuk Dunia, Jakarta: P.T.
Pembangunan, 1967.
Gandhi, M, K., The Collected Works of Mahatma
Gandhi, New Delhi: Divisi Publikasi Pemerintah India, 1958.
Merton, Thomas, Gandhi tentang Pantang Kekerasan,
Jakarta: Obor, 1990.
Metha, Vad, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Suryajaya, Martin, Sejarah Pemikiran Politik Klasik:
dari Prasejarah hingga Abad ke-4 M, Serpong: Marjin Kiri, 2016.
Sudibyo, Agus, Demokrasi dan Kedaruratan:
Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben, Serpong: Marjin Kiri,
2019.
Windhu, Marsana, Kekuasaan
dan kekerasan menurut Johan Galtung, Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
JURNAL
Warih Anjari,"Fenomena Kekerasan
Sebagai Bentuk Kejahatan (Violence)", E-Journal WIDYA Yustisia
Volume 1 Nomor 1, 2014.
Komentar
Posting Komentar